Masjid Jami Sungai Banar

Masjid Jami Sungai Banar adalah salah satu masjid tertua di Kalimantan Selatan yang terletak di tepi Sungai Negara, sekitar 3 km dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, tepatnya di desa Jarang Kuantan, kecamatan Amuntai Selatan.

Masjid pertama di Amuntai ini berdiri pada tahun 1804 Masehi (1218 Hijriyah dalam penanggalan Islam). Terdokumentasi dalam catatan pahatan pada bedug yang masih dimanfaatkan. Dikisahkan, sejumlah warga Amuntai yang sedang berguru kepada Waliyullah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Martapura, menerima saran dari Syekh agar dibangun sebuah masjid di wilayah Amuntai. Kebetulan saat itu memang belum ada masjid. Selain itu Sang Wali juga memberikan sebuah Kitab Suci Al Qur'an tulisan tangan.
Bak gayung bersambut, saran itupun disambut hangat warga Amuntai. Secara bersama, masyarakat mempersiapkan pembangunan masjid, seperti batu-batu, kayu, sirap, dll. Hingga kini, bahan baku masjid seperti kayu ulin, tiang, balok, papan dan sirap masih dapat disaksikan di sekitar masjid. Lokasi pertama yang dipilih sekitar 500 meter dari lokasi masjid yang sekarang. Keanehan terjadi menjelang pemasangan tiang masjid (proses ini dinamakan batajak tiang dalam bahasa Banjar). Mendadak masyarakat terkejut melihat sejumlah tiang besar yang terbuat dari kayu ulin itu hilang dari tempat pembuatannya. Setelah dilakukan pencarian, tiang-tiang itu ditemukan di tepi sungai di lokasi yang sekarang. Ketika itu, sungainya belum ada namanya. Tentu saja kegaduhan muncul mengenai siapa yang memindahkan tiang-tiang yang memiliki bobot beberapa ton itu. Untuk mengangkat satu tiang saja dibutuhkan puluhan orang, apalagi lebih dari satu tiang. Padahal malam sebelumnya, masyarakat masih melihat tiang-tiang tersebut. Keanehan itu pada akhirnya dipandang sebagai sebuah isyarat gaib bahwa lokasi masjid haruslah di tempat tiang-tiang itu berada sekarang. Maka dimulailah pembangunan masjid tersebut. Di kemudian hari tiang-tiang masjid tersebut ada yang mengeramatkan. Bangunan asli masjid berukuran 25 x 20 meter. Berbentuk mirip Rumah Adat Banjar (panggung), memakai tiang dan bertingkat. Bahan-bahan rangka, lantai dan dinding papan dari kayu ulin dengan bagian atap dari sirap yang tinggi. Ketika itu belum dibuat menara. Sedangkan mimbar khotbah merupakan wakaf pribadi H. Mahmud (tokoh masyarakat setempat) yang ukirannya dikerjakan 2 orang ahli ukir pada masa itu, yaitu Buha dan Thahir. Mimbar itu terbuat dari kayu ulin, berukuran 3,8 meter x 1 meter dengan total tinggi 4,5 meter terdiri dari badan 2 meter dan menara 2,5 meter.

( id.wikipedia )